Call Sahabat Guru di Era Digital
Sebagai insan pendidikan, kita tentu tidak asing dengan kalimat ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, yang menjadi ruh dari pendidikan nasional di Indonesia. Semboyan tersebut diperkenalkan oleh tokoh penting dalam perkembangan pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Melalui semboyan tersebut, beliau menegaskan bahwa menjadi seorang guru bukan hanya bertugas untuk mentransfer ilmu kepada murid, tetapi guru haruslah bisa menjadi contoh, penyemangat dan pengayom bagi murid-muridnya. Guru harus menjadi teladan. Guru bukan hanya mengajar, namun juga mendidik murid. Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, guru memiliki peran penting dalam mempersiapkan murid untuk dapat hidup sebagai anggota masyarakat yang berbudaya.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Melalui pendidikan dapat tercipta masyarakat yang beradab.Tugas pendidiklah untuk melatih dan menciptakan ruang agar nilai-nilai kemanusian murid-murid dapat bertumbuh. Sejatinya, tujuan pendidikan adalah menuntun laku dan kodrat murid agar dapat bertumbuh menjadi manusia yang merdeka, tidak bergantung pada orang lain, baik secara individu seutuhnya maupun sebagai bagian dari masyarakat. Kodrat yang dimiliki murid terdiri atas kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan lingkungan dimana murid tumbuh dan berkembang, sedangkan kodrat zaman adalah zaman atau rentang waktu pada saat murid tumbuh dan berkembang.
Bila melihat dari kodrat zamannya, pendidikan saat ini menekankan pada kemampuan murid untuk memiliki keterampilan Abad 21 yaitu berpikir kritis, komunikasi, kreatif dan kolaboratif. Guru tidak hanya membekali ilmu pada ranah pengetahuan semata, namun juga menuntun murid untuk memiliki softskill yang unggul. Menuntun murid mengembangkan keterampilan tersebut memang bukanlah hal yang mudah. Guru harus dapat menciptakan ruang dan suasana belajar yang menyenangkan sehingga murid dapat mengikuti kegiatan dengan nyaman dan aman. Kemampuan guru dalam mengelola kelas memegang peranan penting dalam upaya mencapai tujuan belajar yang akan dicapai. Pengelolaan kelas tidak hanya tentang bagaimana mengatur kelas secara fisik, tetapi juga rutinitas serta seluruh komponen
pembelajaran untuk dapat menciptakan kondisi kelas yang kondusif sehingga pembelajaran berjalan efektif dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, guru tidak hanya mempersiapkan materi atau bahan ajar, tetapi merancang bagaimana kegiatan pembelajaran akan berjalan nantinya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kini guru semakin dimudahkan dalam mempersiapkan pembelajaran. Berbagai aplikasi telah tersedia untuk membantu guru menyusun dokumen pembelajaran. Mulai dari Chat GPT, Gemini, Copilot dan bermacam teknologi AI lainnya dapat dimanfaatkan untuk mencari referensi materi atau assessment. Namun, perlu diingat bahwa berbagai teknologi tersebut hanya alat untuk mempermudah tugas guru dalam mempersiapkan pembelajaran, bukan sebagai pengganti guru di kelas. Kemampuan pengelolaan kelas seorang guru tetaplah menjadi modal utama dalam mewujudkan kelas yang kondusif dan suasana belajar yang nyaman. Semaju apapun teknologi, jika tanpa kemampuan guru untuk memilih dan memilah jenis kegiatan, materi, dan penilaian yang akan diberikan kepada murid, mustahil dapat mencapai kondisi ideal. Guru harus memahami bahwa murid adalah individu yang memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda. Satu teknik mungkin bekerja dengan baik pada kelas A, akan tetapi tidak dapat diterapkan di kelas B. Sayangnya, hal tersebut sering kali luput dari perhatian para guru dalam merancang dan mengelola kelas.
Sebenarnya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran bukanlah hal yang baru apalagi tabu untuk digunakan. Sejak tahun 1950-an, ilmuan telah berusaha mengembangkan teknologi yang dapat membantu guru dalam kegiatan pembelajaran agar efektif dan efisien. Salah satu teknologi yang dikembangkan adalah CALL (Computer Assisted Language Learning). Walaupun awalnya, CALL dimaksudkan untuk membantu pembelajaran terkait bahasa, saat ini CALL juga dimanfaatkan pada mata pelajaran lain.
Sampai ditemukannya mikrokomputer, pembelajar bahasa harus bekerja secara non-interaktif dengan menggunakan komputer mainframe. Pengguna harus memasukkan datanyadalam sebuah kartu, menjalankan program, lalu menunggu hasilnya. Meskipun dengan keterbatasan tersebut, program CALL sederhana untuk latihan dan pengujian muncul sejak awal tahun 1950-an, dan sejumlah proyek pionir CALL muncul pada tahun 1960-an. Fase pertama CALL ini disebut sebagai CALL havioristik (Kern & Warschauer). CALL tersebut mendominasi tahun 1960an dan 1970an dengan mereplikasi teknik pengajaran linguistik struktural dan metode audio-lingual, suatu model pembelajaran bahasa behavioris berdasarkan kebiasaan formasi (Richards & Rodgers, 2001). Teknik meniru yang digunakan dalam laboratorium bahasa pada saat itu sebagian besar terdiri dari latihan dan praktik.
Namun, pada akhir tahun 1970-an, pendekatan behavioris terhadap bahasa pembelajaran ditentang oleh pendekatan komunikatif berdasarkan fokus pada makna penggunaan bahasa daripada pengajaran formal (Richards & Rodgets, 2001). Dengan munculnya mikrokomputer yang semakin kuat di tahun 1980-an, menyajikan kemungkinan yang lebih luas adanya interaksi pada pembelajaran dengan menggunakan CALL dan berbagai buku pionir tentang metodologi CALL mulai diterbitkan.
Saat ini, CALL telah berada pada tahap integratif. Fase tersebut muncul pada pertengahan tahun 1990-an dan terus berkembang seiring dengan perkembangan komputer desktop yang canggih, yang mendukung penggunaan Internet, jaringan area lokal (LAN), multimedia, dan sumber daya terkait yang dikenal sebagai hypermedia (Warschauer, 1996). Sekarang, program bahasa multimedia yang khas, memungkinkan murid untuk melakukan tugas membaca dalam bahasa target, menggunakan kamus, mempelajari tata bahasa dan pengucapan terkait dengan bacaan, memungkinkan akses materi pendukung dan terjemahan dalam bahasa pertama murid(L1), menonton film, dan mengikuti tes pemahaman terhadap isi bacaan, menerima umpan balik dengan segera, semuanya dalam program yang sama. Pendekatan secara interaktif dan individual, dengan fokus utama pada konten yang didukung dengan modul yang menginstruksikan pelajar tentang keterampilan khusus sangat membantu terciptanya kelas yang kondusif, efektif dan efisien.
Terkait masa depan CALL dan arah teknologi pendidikan di dalamnya, secara umum, dari sudut pandang kita saat ini, tidak mungkin untuk memvisualisasikan perubahan yang akan terjadi akibat perkembangannya dimasa depan. Beberapa ahli memilih bersikap hati-hati terhadap kehancuran hubungan antar manusia dan fragmentasi masyarakat sebagai hasil dari komunikasi yang dimediasi komputer. Beberapa yang lain memperkirakan bahwa kita sedang menuju dunia tanpa batas, dengan munculnya perantara yang dengan cepat dapat menyebarkan pengetahuan dan informasi. Ada pula yang memperingatkan bahwa teknologi dan infrastruktur canggih cenderung mengistimewakan budaya dan pedagogi pendidikan negara-negara maju,sehingga menciptakan kesenjangan digital yang hegemonik antara negara-negara kaya dan teknologi negara miskin. Namun, Murray (2000) mengamati bahwa teknologi komunikasi baru seperti konferensi video dan email belum menggantikan bentuk lama seperti panggilan telepon dan surat, melainkan saling melengkapi, sehingga arah hubungan antar pembelajaran dan teknologi sangatlah erat. Meskipun demikian, sebagian besar peneliti setuju bahwa perubahan besar sedang terjadi,pergeseran dalam penggunaan teknologi umum dan pendidikan dari kelas yang berpusat pada guru menuju sistem yang berpusat pada murid, dimana pembelajar memegang kendali atas isi
pelajaran dan proses pembelajaran.
CALL memiliki peran penting dalam mengembangkan kemahiran linguistik dan kompetensi komunikatif serta mendorong peningkatan tingkat otonomi, motivasi, kepuasan, dan kepercayaan diri murid. Pemanfaatan CALL di kelas dan pembelajaran jarak jauh nyatanya mampu menciptakan ruang kelas yang mendorong para murid, bahkan yang pemalu sekalipun untuk berpartisipasi lebih maksimal. Pembelajaran dengan memanfaatkan CALL membantu murid mengembangkan berbagai ide dan mempromosikan hasil dari ide tersebut kepada teman sekelas. Selain itu, CALL juga mengembangkan keahlian mereka dalam menggunakan komputer, sehingga menumbuhkan perasaan bangga serta sangat terdorong otonominya sebagai pembelajar. Dengan demikian, CALL telah terbukti menghasilkan sejumlah
pembelajaran yang bermanfaat.
Sebagaimana telah dipaparkan diawal, meskipun pada awalnya CALL dikembangkan untuk mendukung pembelajaran bahasa, dalam perkembangannya CALL juga dapat dimanfaatkan disemua kegiatan pembelajaran lain. CALL memudahkan guru dalam mengelola kelas sekaligus dapat meningkatkan partisipasi aktif murid dalam kegiatan pembelajaran. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan CALL diantaranya,mengembangkan kemampuan menulis, diskusi, komunikasi, penggunaan multi-media,berbagai kegiatan yang menggunakan internet, seperti mengakses sumber belajar, materi,latihan soal mau pun mencari referensi. Manfaat lain dari CALL adalah memungkinkan
melakukan pembelajaran jarak jauh, dimana dan kapan saja. CALL juga memungkinkan melaksanakan ujian berbasis computer sebagaimana yang saat ini marak digunakan.
Satu hal yang perlu kita ingat bersama adalah, teknologi tidak akan menggantikan guru-guru yang menggunakan teknologi akan menggantikan mereka yang tidak melakukannya. Oleh karena itu, para guru harus menemukan peluang untuk memperoleh keterampilan dalam memanfaatkan CALL dengan mengambil kursus teknologi komputer secara mandiri dan melibatkan kolega mereka serta laman internet sebagai sumber daya dalam mengembangkan
kompetensinya.
Daftar Pustaka
Anwar, Khoirul dan Yudhi Arifani. (2016). Task Based Language Teaching: Development of
CALL. International Education Studies; Vol. 9, No. 6; 2016
Fotos, S. (2001). Structure-based interactive tasks for the EFL grammar learner. In E. Hinkel
& S. Fotos (Eds.), New perspectives on grammar teaching in second language classrooms
(pp. 135-154). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Hanson-Smith, E. (Ed). (2000). Technologically enhanced learning environments. Alexandria,
VA Teachers of English to Speakers of Other Languages.
Healy, D. (1999). Theory and research: Autonomy and language learning. In J. Egbert & E.
HansonSmith (Eds.), CALL environments: Research, practice, and critical issues (pp. 391-
402). Alexandria, VA: Teachers of English to Speakers of Other Languages.
Irawan, S. dkk. Proceeding of 1st International Conference on The Teaching of English and
Literature. ICOTEL: Volume 1, Number 1, November 2020 hal. 296-307.
Lau, L. (Ed.). (2000). Distance teaming technologies: Issues, trends and opportunities. London:
Idea Group.
Murray, D. (2000). Protean communication: The language of computer-mediated
communication. TESOL Quarterly, 34, 397-422.
Shetzer, H., & Warschauer, M. (2000). An electronic literacy approach to network-based
Language teaching. In M. Warschauer & R Kem (Eds.), Network-based language teaching.
Concepts and practices (pp. 171-185). New York: Cambridge University Press.
Warschauer, M. (2003). Technology and social inclusion: Rethinking the digital divide.
Cambridge, MA: MIT Press.
White, IC, & Weight, B. (Eds.). (2000). The online teaching guide: A handbook of attitudes,
strategies and techniques for the virtual classroom.
Penulis: Lina Puspita Dewi & Bayu Dwi Jadmika
Asal Instansi: SMKN 1 Jati Blora & SMKN 2 Temanggung
Editor: Chania M. Widyasari
Leave a Reply