Pengelolaan Kelas Inspiratif untuk Guru
Kita berada di era Disruption (meminjam istilah Clayton M. Christensen dalam Kasali, 2017). Era di mana dunia hari ini ditandai dengan Vitality, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Hidup di era disruption ini membuat kita harus terus mengupdate dan mengupgrade diri, untuk meningkatkan kompetensi. Menghadapi tantangan ini, seakan kembali menemukan relevansinya, sebagai upaya untuk menjadikan kita menjadi survive di tengah gelombang transformasi kehidupan. Pilihannya apakah bisa memanfaatkan momentum untuk bisa memaksimalkan situasi dan kondisi, untuk sebanyak mungkin
memajukan dunia pendidikan, ataukah pasrah, menyerah dan kalah.
Dalam menghadapi dilema situasi dan kondisi di atas, manusia hari ini seakan
dihadapkan pada pilihan antara berubah atau menyerah, resistensi atau adaptasi, transformasi
atau stagnasi. Sementara itu, situasi dunia sudah banyak terjadi perubahan di berbagai lini
kehidupan. Bagi siapa yang tidak menyikapi dan mengikuti perubahan, niscaya akan dilindas
zaman. Itulah hukum besi perubahan. Tidak terkecuali bagi Guru. Persoalannya, bagaimanakah eksistensi guru dalam menghadapi era disrupsi yang sangat dinamis dan cepat berubah, sulit diprediksi, rumit dan penuh komplikasi, serta membingungkan dan penuh paradoks ini. Guru seharusnya tertantang untuk tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai individu yang mampu bersifat adaptif menerima dinamika kehidupan.
Faktanya hari ini, dunia pendidikan yang dihadapi bukan lagi kondisi yang sama
dengan masa 10 atau 20 tahun yang lalu. Para guru/pendidik hari ini yang notebene adalah
produk dari masa lampau yang masih “jadul”, harus berhadapan dengan peserta didik
Generasi Z (Gen-Z), yang dalam hal pola pikir, ucapan, tindakan, kebiasaan dan karakter
yang sangat kontras (bahkan kontradiktif) dengan para gurunya. Belum lagi bicara tentang
massifikasi internet di kalangan peserta didik, yang bahkan tidak bisa hidup tanpa gawai di
tangan. Kredonya, “biarlah fakir miskin, asalkan tidak fakir sinyal” (Sumardianta, 2014).
Dalam istilah lain, para guru dari zaman kolonial mengajar para peserta didik dari zaman
milenial
Wahai Para Guru, Berubahlah !
Menghadapi fenomena ini, para guru (di manapun berada) seyogayanya harus
berbenah dan berubah, karena sebagaimana diungkapkan, ST Kartono (2011), “Aktor
perubahan pendidikan di negara ini hanya guru, tentu saja setelah guru itu sendiri berubah”.
Perubahan guru yang paling fundamental adalah perubahan mindset dan paradigma berpikir
itu sendiri. Dari sini kemudian akan melahirkan sikap curiosity (rasa ingin tahu) yang akan
mendorong seorang guru untuk terus belajar dan belajar, sehingga akan meningkatkan
kualitas dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugasnya di sekolah.
Karena diakui atau tidak, masih banyak para guru, yang masih terkungkung pada
paradigma berpikir status quo, monoton, stagnan, pasif, bahkan anti perubahan. Seorang guru
karbitan yang hanya bermodal tutur dan kapur (talk and chalk). Baik bagi guru di kota
apalagi di desa, guru Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun honorer, Guru Sertifikasi maupun
tidak, dan seterusnya. Bahkan dalam banyak penelitian ditemukan fakta,“bahwa
meningkatnya kesejahteraan guru tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas
pembelajaran di kelas”. Sungguh fenomena yang ironis berbalut tragis.
Karena akibatnya, sebagaimana refleksi yang pernah diungkapkan Munif Chatib
(2009), “banyak sekolah yang sadar atau tidak sadar, malah ‘membunuh’ banyak potensi
siswa-siswa didiknya”. Karena terjadi malpraktik di dunia pendidikan secara massif, berupa
Distachia (salah mengajar), yang bisa mengarah pada stupidifikasi (pelatihan menjadi
bodoh), yang pada ending-nya, akan melahirkan gembel-gembel (generasi malas belajar) di
dunia pendidikan. Sehingga tanpa disadari, akan terjadi pembodohan siswa secara
tersistematis di institusi pendidikan.
Pesan inilah yang pernah diungkapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi, Nadim Anwar Makarim, pada Hari Guru Nasional (HGN) 2019 yang lalu,
agar para guru dapat melakukan perubahan kecil di kelas yang mendorong inovasi
pembelajaran (Kemdikbud, go.id, 2019). Saatnya para guru harus lebih kreatif dan inovatif
dalam merancang pembelajaran di kelas. Jadikanlah ruang-ruang kelas, sebagai ruang
pembelajaran yang inspiratif, menyenangkan dan bermakna.
Sebagaimana yang pernah diungkapan, bahwa belajar akan efektif jika dilakukan
dalam suasana yang menyenangkan. atau dalam istilah Gordon Dryden & Jeanette Vos
(2002), Learning is most effective when it’s fun. Dalam istilah Loomans dan Kolberg (dalam
Bobbi DePorter, Mark Reardon, Sarah Singer Nourie, 2004), jika kelas merupakan
lingkungan yang hidup, kreatif, dan penuh tawa, maka murid dari segala usia memiliki
saluran keluar alamiah di mana keingintahuan mereka berkembang.
Nyalakan kelas dengan berbagai inovasi dan kreativitas dalam pembelajaran, tidak
sekedar mengejar ketuntasan kurikulum atau matrialisme kurikulum. Hal yang sama pernah
diungkapkan oleh Hernowo,”bahwa pembelajaran di kelas akan efektif dan menyenangkan
apabila anak-anak didik dapat memperoleh semacam “alat-alat” (how) belajar, ketimbang
hanya dijejali dengan materi (what) (Hernowo, 2005).
Ada sebuah ungkapan bijak, bahwa “Mengajar adalah Seni, Mengajar menuntut
keterampilan dan kreativitas”. Dimulai dari desain kelas yang menyenangkan dan inspiratif,
proses pembelajaran di kelas yang interaktif, kreatif, inovatif, menyenangkan dan bermakna
dengan berbagai model-model pembelajaran yang variatif. Pun juga penggunaan teknologi
informatika yang relevan. Sehingga membuat proses pembelajaran yang berlangsung bisa
menjadikan peserta didik sosok yang “kasmaran” dalam belajar.
Penulis: Moh. Zulham Alsyahdian
Asal Instansi: SMP Negeri 4 Keritang
Editor: Chania M. Widyasari
Leave a Reply