Lost Character Siswa pada Proses Pembelajaran Jarak Jauh

Belum selesai dengan kasus buta huruf dan angka putus sekolah yang tinggi, Indonesia masih memiliki PR untuk memperbaiki pendidikan yang diluluhlantahkan oleh adanya Pandemi COVID-19. Akhirnya peraturan darurat mengharuskan adanya pembatasan interaksi antarindividu. Program ini memang solusi terbaik dalam rangka memutus penyebaran virus COVID-19. Namun, dengan dibatasinya hubungan antarindividu menimbulkan ketidakstabilan dalam perekonomian, pertahanan, keamanan, bahkan pendidikan.
Di sisi lain, sejak 2020, Indonesia telah memasuki Revolusi Industri 4.0. Hal ini menjadikan masyarakat terutama generasi abad 20, sudah tidak asing dengan gawai. Meskipun tidak dapat dipungkiri dengan luasnya negara Indonesia dan ragam corak bangsa, tidak seluruh wilayah sudah tersentuh oleh perkembangan teknologi yang masif ini. Di era industri 4.0 ini, masyarakat digiring untuk melakukan efektivitas kerja menggunakan teknologi dalam segala pemenuhan kebutuhan. Dalam bidang pendidikan, adanya teknologi menggiring terjadinya revolusi belajar yang dapat diakses jarak jauh yang menjadi solusi dalam penanganan masalah pendidikan di masa pandemi.
Tren pembelajaran semasa pandemi melalui teknologi ini dikenal sebagai pembelajaran daring (dalam jaringan). Dalam kondisi ini, siswa dan guru dapat tetap melakukan aktivitas pembelajaran di tempat yang berbeda. Media yang digunakan adalah gawai. Memiliki gawai adalah prasyarat siswa dapat melakukan pembalajaran secara daring. Revolusi belajar ini mendorong guru dan siswa untuk adaptif terhadap kemajuan teknologi.
Menurut BNSP (2010), model pembelajaran abad 21 memanfaatkan teknologi yang bukan hanya sebagai media komunikasi. Akan tetapi, juga sebagai fasilitas pembelajaran untuk memberikan pengalaman dan perubahan dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, guru diwajibkan memiliki kemampuan untuk dapat mengoperasikan gawai yang menjadi modal utama untuk menciptakan model-model pembelajaran berbasis teknologi yang mampu menggali potensi siswa dalam pembelajaran secara daring. Platform yang biasa digunakan dalam pembelajaran secara daring semisal Google Classroom, Ruang Guru, Zenius, Google Suite for Education, atau kelas pintar.
Dalam melakukan pembelajaran daring ini, para pelakunya memerlukan waktu adaptasi. Pertama dalam hal sarana dan prasarana. Tidak semua siswa memiliki gawai sendiri karena gawai belum menjadi kebutuhan pokok bagi beberapa kalangan. Kedua, sistem pembelajaran seperti ini menjadi polemik bagi guru karena cukup banyak guru yang belum piawai menggunakan teknologi. Salah satu penyebabnya adalah kondisi fisik guru senior tidak lagi prima. Semisal dari penglihatan dan daya tangkap. Namun tetap, meskipun dalam kondisi gagap teknologi, selaku seorang guru harus mencontohkan semangat belajar yang baik sehingga dapat menjadi teladan bagi muridnya.
Meskipun pembelajaran dilakukan secara daring, idealnya pembelajaran harus mampu mendidik siswa dalam hal kognitif, kecerdasan dalam bersikap, dan spiritual yang baik. Dengan demikian, siswa yang dihasilkan bukan hanya memiliki intelektual tinggi, tapi juga berkarakter. Oleh karena itu, diciptakanlah model-model pembelajaran daring yang menarik sehingga mudah dipahami oleh siswa (seperti penggunaan video pembelajaran, video conference, dan quizziz.
Namun, pembelajaran dalam jaringan ini belum mampu menyamai efektivitas pembelajaran secara langsung. Adanya pembelajaran dari tempat yang berbeda, guru kesulitan dalam menjalankan fungsinya sebagai pembimbing, evaluator afektif, dan psikomotor siswa. Dengan tidak berjalannya beberapa peran utama guru, siswa mengalami lost character atau hilangnya pendidikan mental dan karakter saat pembelajaran jarak jauh.
Lost character yang pertama adalah mengenai daya juang. Adanya kemudahan informasi yang didapat oleh siswa saat ini, membuat daya juang mereka untuk mendapatkan ilmu semakin rendah. Meskipun segi positifnya, siswa bisa lebih cepat mendapatkan informasi dan ilmu di mana dan kapan saja, tidak harus menunggu dari guru. Akan tetapi, guru bukan hanya mentransfer pengetahuan semata. Terdapat mental yang dibentuk oleh guru ketika mereka melakukan proses belajar kepada siswa, seperti disiplin, jujur, dan sikap menghargai. Selain itu, dekat dengan seseorang yang berilmu menjadi jalan keberkahan dari ilmu itu sendiri. Karakter santun dan rendah hati akan terbentuk ketika seseorang berinteraksi dengan guru ketika menuntut ilmu.
Yang kedua adalah budaya menyontek. Dalam pembelajaran jarak jauh, sulit bagi guru mengarahkan siswa untuk menghilangkan budaya menyontek. Siswa yang terbiasa menyontek, lama-kelamaan akan memiliki cara pandang bahwa dengan cara mudah ia mampu mendapatkan apa yang ia inginkan. Fasilitas teknologi saat ini pun lebih mampu dimanfaatkan oleh siswa daripada oleh gurunya. Hal ini mengakibatkan siswa sangat mudah dalam melakukan kecurangan dalam mengerjakan tugas bahkan ulangan. Sudah tidak aneh, jika siswa menemukan jawaban dari tugas yang diberikan guru di Google atau sampai meretas soal ulangan.
Jikalau tidak diberikan arahan yang benar, siswa akan terus terbiasa disuguhkan kemudahan dengan adanya jawaban yang instan dari gawai. Perkembangan teknologi adalah hal positif, namun jika tidak dibarengi dengan pembentukan karakter maka siswa tidak akan mendapatkan proses belajarnya.
Penulis: Aneu Pebrianti (SMA Negeri 1 Banjaran)
Editor: Chania Widyasari, S.Pd.

Tantangan dan Hambatan Pendidikan di Tengah Pembelajaran Online

Leave a Reply