Hybrid Learning, Benarkah Sebuah Solusi?

Meninjau permasalahan yang muncul sejak adanya Pandemi COVID-19, pemerintah melalui Kemendikbud berusaha memberikan solusi dalam dunia pendidikan. Hal ini dikeluarkan dalam SKB (Surat Keputusan Bersama) 4 Menteri terkait dengan pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Dalam SKB tersebut dijelaskan bahwa sekolah diizinkan untuk melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Ketika PTMT, peserta didik diizinkan mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah dengan kapasitas 50%. Itu artinya hanya setengah dari jumlah peserta didik dalam satu satuan pendidikan yang diizinkan untuk datang dan belajar di sekolah, sisanya tetap di rumah masing-masing dan mengikuti KBM secara daring (online).
Di tengah kekalutan ini, muncul istilah hybrid learning atau blended learning. Hybrid learning merupakan metode belajar yang mengombinasikan sistem tatap muka dengan sistem tatap maya dalam waktu bersamaan. Beberapa sekolah telah menerapkan hybrid learning tersebut. Pertanyaannya adalah, “Apakah hybrid learning benar merupakan solusi yang tepat untuk digunakan dalam jangka panjang?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu akan dibahas kelebihan dan kelemahan dari hybrid learning. Keuntungan sistem ini adalah pihak sekolah tidak perlu menjadwalkan terpisah waktu belajar antara peserta didik yang hadir di sekolah dengan yang berada di rumah. Tidak hanya itu, peserta didik dapat memilih belajar di sekolah atau di rumah berdasarkan kondisinya. Hal ini memudahkan peserta didik yang kebetulan berada jauh dari lokasi sekolahnya.
Sama halnya seperti dua sisi kehidupan, ada kelebihan dan ada kekurangan, tak terkecuali pada sistem hybrid learning. Yang paling terlihat adalah pengadaan fasilitas pendukung hybrid learning. Dalam mendukung hybrid learning dibutuhkan layar LCD berukuran cukup besar sebagai sarana penamang para peserta didik yang belajar daring, kemudian dibutuhkan kamera agar dapat menangkap kegiatan guru mengajar secara langsung di kelas, belum lagi mikrofon, serta papan tulis digital.
Kelemahan lain dari metode ini adalah kemungkinan munculnya kesenjangan dalam perkembangan akademik peserta didik. Kesenjangan ini terjadi antara peserta didik yang belajar langsung di kelas dengan yang belajar daring. Guru memiliki keterbatasan dalam mengawasi perkembangan dua kelompok peserta didik ini. Guru akan lebih mudah mengawasi secara langsung tingkat perkembangan akademik peserta didik yang datang ke sekolah, tapi sulit untuk mengawasi peserta didik yang belajar daring. Hal inilah yang lamban laun akan memicu kesenjangan dalam perkembangan akademik, terutama bagi peserta didik yang belajar daring.
Kesenjangan ini memicu terjadinya learning loss. Learning loss menurut Guru Besar Universitas Islam Indonesia UII Edy Suandi Hamid (CNN, 2021) adalah kondisi hilangnya kemampuan akademik pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Learning Loss ini menyebabkan meningkatnya kasus putus sekolah, penurunan capaian belajar, serta masalah perkembangan mental dan psikologis peserta didik yang terbiasa menghabiskan waktu dengan penggunaan gawai yang berlebihan.
Hal ini mulai terlihat dari peserta didik yang kehilangan minat untuk mengikuti pembelajaran daring. Peserta didik mulai mengerjakan tugas dengan asal, sampai tidak mengumpulkan tugas. Belum lagi jika orang tua melakukan pendampingan yang kurang bijaksana seperti membantu mengerjakan tugas sekolah sang anak yang berpotensi menyebabkan berkurangnya kemampuan anak. Di sisi lain, terjadi pula kurangnya pendampingan orang tua sehingga anak perlahan-lahan kehilangan rasa tanggung jawabnya.
Tidak mengherankan jika learning loss ditakuti oleh para pakar pendidikan. Menurut sejumlah riset yang ada, learning loss dialami oleh peserta didik yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Hal ini terjadi karena keterbatasan ekonomi yang berdampak pada penyediaan sarana dan prasarana belajar daring serta masalah pendampingan orang tua
Hybrid learning merupakan buah pemikiran yang maju dan bermanfaat. Namun, tidak semua jenjang pendidikan cocok menerapkan sistem ini. Sistem hybrid learning sangat membantu bagi peserta didik yang sudah memiliki kedewasaan dalam berpikir, bertindak, dan sudah memahami pentingnya tanggung jawab. Hybrid learning cocok diterapkan bagi orang-orang yang ingin belajar, bekerja, dan berkarya tanpa mengganggu waktu dan mobilitas mereka.
Jika hybrid learning tetap harus diterapkan pada semua jenjang pendidikan, hal ini merupakan Pekerjaan Rumah (PR) bagi para pendidik semua. Poin utama yang perlu dipertimbangkan adalah mencetuskan solusi terbaik sehingga kesenjangan dalam pendidikan dan permasalan learning loss tidak sampai fatal akibatnya. Selain itu perlu juga dipertimbangkan adanya pertemuan tatap muka langsung agar guru dapat memantau, mengawasi, membimbing, dan mengasah kemampuan akademik peserta didik baik dalam segi pengetahuan maupun keterampilan.
Penulis: Vinna, S.S. (SMA Taruna Bangsa)
Editor: Chania Widyasari, S.Pd.

Video-Blogging: Belajar Asyik di Tengah Pandemi Covid-19

Leave a Reply